Fokus ke Mana?

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

 (Photo by Romain Vignes on Unsplash

Beberapa bulan ini, saya merasakan perubahan dalam diri yang cukup signifikan. Memang benar bahwa hidup itu perjuangan. Dan berjuang tidak hanya di medan perang, adalah bentuk perjuangan juga bagi saya ketika melawan fluktuasi emosi yang terkadang sulit dikendalikan. Hingga hari ini, saya pun masih berjuang melawan bisikan-bisikan yang melemahkan iman, bisikan yang mengundang sedih tiba-tiba karena teringat sikap yang diterima dari orang yang sangat dihargai kehadirannya, orang yang masih (dan insyaAllah selalu) saya doakan kebaikan untuknya dan keluarganya.

Jika bukan karena kebaikan Allah Subhanallahu wa Ta'ala, saya mungkin tak akan mampu mengendalikan diri. Saya sadar, bisa bertahan sejauh ini atas ujian-ujian yang telah dilalui sejak kecil hingga lebih dari seperempat abad di bumi merupakan bantuan-Nya. Allah membantu saya untuk fokus terhadap apa yang bisa diupayakan, solusi apa yang harus diikhtiarkan, manfaat apa yang bisa diberikan, kekurangan apa dalam diri yang harus dilakukan perbaikan, bukan fokus terhadap perasaan kecewa, sedih, marah, dan hal-hal negatif lainnya. Benar memang jika seluruh perasaan itu valid, tetapi benar pula bahwa bagaimana kita memandang dan bersikap terhadap suatu ujian dengan cara yang tepat adalah bentuk kasih sayang-Nya untuk menaikkan level keimanan kita. Sebagaimana firman-Nya di dalam Al-Qur'an surat Al Ankabut ayat 2:

أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ

Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan,
"Kami telah beriman", dan mereka tidak diuji?

Jauh berabad-abad lalu sebelum kita terlahir ke dunia, Allah juga telah menguji orang-orang yang hidup di suatu zaman. Tak ada satu pun yang luput dari pengawasan-Nya. Bahkan sekelas Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang merupakan kekasih-Nya saja juga diuji, apalagi kita yang kadar keimanannya masih sangat jauh dari beliau? Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang hati dan akhlaknya terjaga saja masih memohon ampun atas dosanya kepada Allah, lalu bagaimana dengan kita yang masih sering lalai menunda kebaikan? Saat menulis ini, rasanya sungguh malu kepada Allah. Malu jika tiba waktu menghadap-Nya, tetapi amal saya belum cukup. Malu karena petunjuk-Nya bertebaran di muka bumi, tetapi manusia yang dzalim dan bodoh ini belum memikirkan hikmah di baliknya.

Fokus terhadap nikmat yang tidak atau belum dimiliki, tetapi telah dimiliki oleh orang lain, hanya akan menghabiskan energi. Syaitan akan bersorak riang karena mendapat pengikut atas kelemahan diri mendengar bisikan-bisikannya yang menipu dan melenakan. Sungguh musuh yang nyata, tetapi kita sering abai terhadapnya.

Kepada siapa pun yang pernah saya buat kecewa atau saya dikecewakan olehnya, semoga Allah mengampuni kesalahan kita. Kepada siapa pun yang pernah saya sakiti hatinya atau hati saya disakiti olehnya, semoga Allah mudahkan kita meminta maaf dan memberi maaf. Terus melatih fokus kepada ketakwaan dan senantiasa berserah kepada Allah atas segala kejadian yang telah terjadi atau belum kita ketahui di masa depan, semoga meringankan langkah kita untuk tetap berjalan di jalan Allah Subhanallahu wa Ta'ala.

Masih ada waktu, tapi tidak banyak. Maka ingatkan saya tentang rumah yang sejati, rumah yang abadi, rumah di mana rasa lelah dicabut dari jiwa raga oleh Allah Subhanallahu wa Ta'ala. Rumah yang di dalamnya hanya ada kebaikan. Rumah yang di sanalah tempat kita seharusnya pulang, suatu saat nanti. Tak lama lagi.

0 Comments